Kamis, 01 Maret 2012

Tugas cerpen untuk praktek bahasa indonesia ( ricky henrico sutan damanik)

Nama : Ricky Henrico Sutan Damanik
Kelas : XII ips 1
“Ulang tahun penantian salam”


Aku bangun dengan jiwa berpengharapan. Matahari pagi menembus kisi-kisi batinku yang remang. Sejenak hatiku terasa ringan ketika merasa seharusnya ada sesuatu yang "manis" untukku hari ini. Semalam, aku memang tidur lebih cepat. Karena aku ingin lebih cepat menyongsong pagi.
Perasaan itu membuatku segera terbang ke kamar mandi. Kucuran air membuatku terasa nyaman. Lalu kubiarkan busa sabun menjilati tubuhku yang telanjang. Membilasnya. Membelitkan handuk di tubuhku. Mengenakan pakaian. Berkaca. Sambil memakai seragam sekolah.

Saat mereguk kopiku yang masih hangat di atas meja, aku tersenyum ketika melihat banyak SMS masuk yang berisi ucapan selamat ulang tahun. Meski begitu banyak SMS yang masuk, tetapi aku masih menunggu dari seseorang....

Pagi sudah menunjukkan pukul 07.00, warna langit yang tadinya gelap kini berubah menjadi kuning keemasan ,mentari mulai tersenyum menampakkan sinarnya, ku teguk habis kopi hangatku dan kusambar helm ku dari atas kursi . segera ku berpamitan kepada orang tuaku ..
Takut aku terlambat menuju tempatku menuntut ilmu. Jangan anggap aku anak rajin kalau sering berangkat ke sekolah pagi-pagi. Apalagi menganggapku pintar, itu salah besar. Sesungguhnya aku bodoh, berotak bebal. Tiap tahun, lima ranking paling buncit di kelas, salah satunya pasti milikku. Jadi, kalau pun naik kelas, kupikir karena nasib baik saja. Setelah lancar mengeja, menulis, menjumlah, dan cukup tahu sedikit tentang sejarah, tak ada lagi manfaat yang kupetik dari sekolah. Di mataku, gedung itu malah menyerupai lintah. Makin hari makin bengkak, saking rakusnya menghisap darah. Aku dipaksa membeli buku ini itu atau membayar biaya ini itu. Kalau tak dituruti, siap-siaplah kena marah atau dipersulit di kemudian hari.

Aku keluar rumah menuju garasi . kuhidupkan sepeda motorku dan segera ku tancap gas kuda besiku saat ini aku adalah remajayang baru genap berumur 17 tahun dengan seragam putih abu-abu , sepatu bermerek dari sebuah toko dipusat kota, parfum beraroma laut tropis dan handphone tipe terbaru ,duduk di atas jok empuk diatas sepeda motor yang kecil dan lincah, dengan hembusan angin yang halus.

Setiap hari sebelum aku menuju tempatku menuntut ilmu, aku melewati 3 lampu merah dan sebuah terminal. Di Terminal, aku leluasa melihat para pedagang kaki lima yang berseliweran menjual buah-buahan, permen, tisue, pangsit mie, sampai VCD bajakan. Aku mengamati para kernet, sopir, makelar, pengamen sampai pengemis. Mereka beraktivitas dengan ekspresi bebas. Mereka duduk mencakung, merokok, tertawa terbahak menampakkan gigi geligi yang hitam karena kerak nikotin dan bermain kartu. Tidak adakah himpitan kesusahan menekan batin mereka? Ataukah kesusahan sudah begitu akrab menjadi sahabat mereka sehingga tidak perlu lagi untuk ditangisi? Aku berpikir diam-diam.


Sekelompok pengamen datang dan mulai mendendangkan lagu dengan suara sumbang, ditingkahi suara botol galon air minum mineral dan bunyi uang logam beradu. Kulirik dengan ekor mataku, salah satu di antara mereka adalah seorang gadis dengan wajah cukup manis kalau saja tidak banyak luka-luka parut yang terlihat jelas di lengannya sebelah dalam.

Aku sempat memikirkan bekas luka itu karena apa? Karena narkobakah? Bekas berkelahikah? Kenapa gadis semanis dia memiliki luka parut begitu banyak di lengannya? Apakah luka parut di hatinya lebih banyak lagi karena hidupnya begitu pahit?

Pahit?

Rasa pahit itu menyeruak tanpa permisi ke dalam dadaku karena ring tone ponselku yang kutunggu sama sekali belum berbunyi.
Sesampainya disekolah kuparkirkan sikuda besiku , dengan langkah sedikit cepat aku berlari menuju barisan dengan nafas terengah-engah ..
Bel berbunyi itu menandakan pelajaran akan segera dimulai , aku tidak konsentrasi menerima pelajaran yang diberikan oleh bapak guru. Mataku terfokus pada jam dinding yang berada ditengah atas kelas . Ini sudah lewat setengah hari, begitu aku membatin dalam hati dengan perasaan gelisah. Tetapi kenapa yang kuharap dan kutunggu belum juga mengirim salam?
Keputus asaan sudah membayangiku …
apakah dia tidak ingat kalau sekarang adalah hari penting bagiku ??

Bel panjang sudah berbunyi , itu memberi isyarat bahwa pelajaran telah selesai .
Tapi mengapa yang ku tunggu-tunggu belum juga datang ??
kusandarkan badanku di suut-sudut tiang sekolah sambil menyendiri. Aku bangkit dari dudukku dan menyelonjorkan otot-otot punggungku yang kaku karena sudah terlalu lama menunggu.

Aku masih belum berniat pulang. Aku masih menanti. Aku melangkah gontai menembus gerimis menggigil dingin, membiarkan sepatuku, bajuku, rambutku, tubuhku, wajahku, seluruh pipiku basah. Aku tidak tahu, basahku karena gerimiskah atau karena air mata. Aku ingin menghabiskan waktu menunggu salam selamat ulang tahun dari si dia. Seharian penuh aku mengamati setiap perubahan yang ada di langit sana. Dan ketika awan-awan itu kian memerah dan akhirnya hilang, cinta sudah membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini.
“Selingkuh? Hanya laki-laki tak bermoral yang selingkuh. Jangan samakan aku dengan mereka,”
“ tapi hanya ada satu diantara tiga laki-laki seperti itu didunia ini !! “ jawabnya
“ aku tidak seperti itu !! “ jawabku
Hanya itu kata-kata terakhir yang kuucapkan kepada dia yang akhirnya membuat kami berpisah
Setelah dia pergi bergegas meninggalkan aku.

Aku tersalib kecewa dan luka. Kulihat bukan saja kepalaku, tanganku, kakiku, tubuhku berdarah, tetapi hatiku, jantungku, paru-paruku, lidahku, mataku, telingaku, semua mengucurkan darah.....
Pematang siantar sudah mengellap segera ku hidupkan sepeda motorku dan aku bergegas pulang.
Oke. Aku pulang.

Hanya ada dua hal di kepalaku selama perjalanan
Tapi dua hal itu sudah terlalu banyak untuk jarak tempuh yang rasanya sangat pendek ini. Aku besar di lingkungan yang keras. Kawasan tempat tinggal kami tersohor sebagai kompleks elite di kota ini. Ibarat akar pohon yang menancap kuat dalam tanah, julukan itu tak bisa dirobohkan lagi. Sama seperti rasa benciku pada dia .

Semestinya aku belum berniat pulang, kalau saja tidak merasa khawatir kemalaman dan orang tua sudah cemas menungguku dirumah . sesampainya dirumah.Kuraba saku celana ku. Kulihat telepon selularku masih dalam keadaan yang sama. Tidak ada message, tidak ada miscall, tidak ada mailbox...

Semenit sekali aku masih selalu bisa merasakan puncak kegelisahan itu.

Begitulah aku menikmati usia tujuh belasku. Beberapa hari sebelum hari kemarin. Tetapi mulai hari kemarin aku mulai terganggu dengan hidupku sendiri. Aku mulai berfikir kenapa dia tidak mau mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku . apakakah kesalahanku terlalu besar kepadanya ?
Hingga pintu hatinya sudah mengkristal dan membeku sampai-sampai dia sangat membenciku ?

Ditemani alunan lagu dari salah satu penyanyi kesukaanku yang terdengar dari headset yang menempel ditelingaku , aku mulai mengobati luka-luka perih didalam hatiku..
kucoba untuk menghibur diriku sendiri .

aku merasa penantianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk dia.

Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada dia. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku?
Tapi, apakah ini tepat ?
Mengapa tidak?

Tetapi di sisi lain aku harus berbuat sesuatu baginya dan bagi surau dalam pikirannya. Padahal aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya, bahwa obat mujarab cinta adalah rasa percaya, meskipun aku sendiri belakangan ini tidak yakin dengan kesimpulanku sendiri.

kuselesaikan malam ku dengan air mata yang berurai. Aku merasa menjadi laki-laki paling cenggeng dan tolol .Semua bebanku kusimpan sendiri . Aku menjadikan kedua lenganku sebagai bantal dan mataku menatap serat-serat kayu yang menjadi langit-langit rumah ..

Aku berbaring telentang di atas ranjang yang senyap. Di sampingku, telepon selularku masih dalam keadaan on. Akalku menyuruhku lebih baik tidur saja dan melupakan harapan sebiji sawi yang sejak pagi kuletakkan di tempat yang tertinggi.

"Lupakan saja... perempuan itu menipumu...", begitu kata otakku. Tetapi perasaanku mencegahnya dan tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu. "Hari ini belum habis...perempuan itu tidak menipumu... dia memikirkanmu...," begitu kata batinku.
Akal dan perasaanku terus berperang sampai menjelang tengah malam. Tetapi kenyataannya toh perasaan yang selalu menang.
Aku tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu !

Lima Februari dua ribu dua belas sudah lewat....
Tidak ada apa-apa di telepon selularku. Benda komunikasi canggih abad millennium itu tetap diam tidak bergerak. Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau menangis untuk ketololanku atau kenaifanku? Aku tidak tahu apakah aku harus membuang biji sawi ataukah menyimpan kulit bawang?

Yang kutahu, ada rasa asin menganak di lekuk pipiku ketika aku menggambar rupanya, menulis namanya, mendengung suaranya di langit luas, di langit kamarku, di langit hatiku...
Kututup mata... dengan bayang-bayang sepanjang malam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar